gambar

gambar
mobil impian gw

Minggu, 29 Mei 2011

Story Telling


 My Favorite Yoyo

One of my favorite objects is my transparent yoyo. It is very special to me. My yoyo is made of transparent plastic and with a combination colors dark grey and silver. 

I always play that my favorite yoyo. I bought my yoyo in toys city, PIM, Jakarta. A price of my yoyo is very expensive. A shape of my yoyo is circle. Maybe this yoyo is rare to me, because I saw only one transparent yoyo in that toy city store. This yoyo very special because is limited edition and very cool for me. I bought this yoyo with my own money.

A spin of my yoyo is very fast. A name of my yoyo is a wind breaker. I had a six yoyo’s and I had that yoyo’s in birthday present. I can do a lot of trick with my wind breaker. For the examples is rock the baby, walk the dog, around the world, and many more.

This is the end of my story about transparent yoyo. 

GOOD BYE…………

Soal untuk Perfect tense


17 april 2011

Mohamad Alif Ghifari Rachman/21
Kelas :7B


    1. T.A. Edison (try) million times of experiments before he finally (invent) an electric light bulb.

    1. Before the first human (appear), the dinosaurs (roam) the earth.


    1. Before he (get) promoted to be The Chief of News of Liputan 6 SCTV, Arif Soeditomo (be) a street reporter for years.

    1. Right after the teacher (explain) the materials, he then (continue) the class with a practice.


    1. That little boy finally (start) a relationship after he (observe) the little girl for more than a year.

Cerita tanpa judul


Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Liana sang kakak dan Lionel sang adik, bergegas-gegas pergi ke sekolah. “ Ibu, aku dan adik pergi ke sekolah dulu ya.. “, ujar Liana. “ Iya, nak. “, jawab ibu. Mereka pergi ke sekolah dengan mengemudi kendaraannya sendiri. Pastinya Liana yang menyetir mobil. Mobil Liana adalah Jaguar yang berwana hitam campur putih. Oya, Liana sekarang duduk di kelas 3 SMA. Dan Lionel kelas  2 SMP. Mereka semua sudah remaja. Tetapi, mereka itu manja! Mereka bersekolah di Bording Academi School ( BAS ). Mereka mengikuti kegiatan yang seadanya dan mengikuti 2 ekstrakulikuler ( ekskul). Liana mengikuti basket dan dance sementara Lionel mengikuti biola dan dance. Mereka mengikuti kegiatan itu dengan rutin. Jika 1 kali tidak hadir mereka akan dikeluarkan dari ekskul. Ya, kecuali ada alsan karena sakit. Memang bigitulah sekolah BAS.
            Pagi-pagi sekali Liana dan Lionel telah datang. Mereka disambut oleh The Twins, yaitu, Rissa dan Rinna. Mereka memang bukan seumuran, tetapi, mereka wajahnya sangat mirip. Rissa di kelas 3 SMA, sedangkan Rinna di kelas 2 SMP. Rissa dan Rinna memang anak yang pengadu. Tetapi, Liana dan Lionel tetap saja sabar menerima apa yang mereka hadapi.
            Sesampai di kelas, Liana menaruh tasnya dan berkumpul dengan geng nya. Nama geng nya adalah Rock’in Girls. Ya, memang namanya terlalu berlebihan. Rissa yang mengikuti Liana dari belakan langsung berterian dan berkata “ Mrs. Y, mereka tidak mau mengajak aku bermain!”. “ Bohong! Kita mau mengajak kamu bermain! “, jawab Jeny. “ Sudah sudah. Kalian saja dari pagi sudah cari rebut! Sekarang semuanya bubar dari kelas! “, jawab Mrs. Y.
            Sesampai di kelas, Lionel langsung menaruh tasnya dan langsung keluar dari kelas. Diluar kelas, Lionel hanya duduk di bangku yang panjang. Lionel bukan tidak mempunyai teman, tetapi temannya pada belum datang. Hihihii….. Rinna pun selalu mendekati Lionel kemana Lionel pegi. Saat Lionel masuk kelas, “ Rinna, jangan ikutin aku mulu! Masih banyak orang yang kamu bisa ikutin, tahu! “ Rinna menjawab “ Hey! Terserah aku dong! Emang kamu siapa? “ Tiba-tiba Mr. G berdiri dari bangku dan berkata “ Hey kalian! Kenapa sih kalian selalu ribut kayak gini? Saya tidak mau ada keributan di kelas lagi. Sekarang semuanya keluar! “
            Bel sekolah berbunyi. Tanda pulang sekolah bagi yang tidak mengikuti ekskul dan pergi ke kelas lain bagi yang mengikuti ekskul. Tentunya, Liana dan Lionel mengiukuti ekskul. Ekskul dance pastinya. Mungkin cerita ini berakhir sampai di sini.
Mau tahu kelanjutan cerita ini? Ayo beli lembaran tanpa judul ini!

Si Pahit Lidah dan dan si mata empat


Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat

          Di Bandar Lampung terdapat sebuah danau yang indah bernama Danau Ranau. Danau ini adalah saksi perkelahian dua pendekar bernama Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat.
          Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani yang terkenal di daerah Banding Agung. Mereka amat disegani lawan-lawannya. Baik Si Pahit Lidah maupun Si Mata Empat, keduanya merasa paling hebat diantara keduanya. Akhirnya, karena ingin membuktikan siapa yang lebih hebat di antara mereka berdua, mereka sepakat untuk bertemu dan mengukur kekuatan masing-masing. Caranya, keduanya harus tidur menelungkup di bawah rumpun bunga Aren. Lalu, bunga Aren di atas akan dipotong oleh si lawan. Siapa bisa menghindar dari bunga Aren yang besar, lebat dan berat itu, dialah yang akan disebut jawara.
          Mereka kemudian menentukan hari yang tepat.
          Si Mata Empat mendapat giliran pertama. Sesuai namanya, Si Mata Empat juga memiliki dua mata lain, yakni di belakang kepalanya.
          Si Pahit Lidah lalu memanjat pohon Aren dan memotong bunganya.
          Tentu saja mata Si Mata Empat dapat melihat ketika bunga Aren jatuh meluncur ke bawah. Sehingga ia bisa menghindar dengan mudah dan bisa selamat.
          Kini giliran Si Pahit Lidah.
          Si Mata Empat mulai memanjat dan Si Pahit Lidah sudah menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon Aren itu. Ketika bunga Aren itu sudah dipotong… clazzz…. Gugusan bunga itu meluncur ke bawah….
          Si Pahit Lidah tak bisa mengetahui hal itu. Badannya tetap berada di bawah luncuran bunga itu. Ia tak menghindar. Tentu saja bunga itu menghujam tubuhnya jadi luluh. Ia pun tewas seketika!
          Si Mata Empat senang dan merasa puas. Ia bisa membuktikan pada semua orang, dirinyalah yang lebih saksi dari Si Pahit Lidah.
          Namun rasa ingin tahunya muncul, mengapa lawannya itu mendapat julukan Si Pahit Lidah? Benarkah lidahnya memang pahit? Lalu karena penasaran, ia cucukkan jarinya ke dalam mulut Si Pahit Lidah yang sudah mati itu. Setelah itu, dicecapnya jarinya sendiri yang sudah terkena liur Si Pahit Lidah. Rasanya pahit sekali!
          Rupanya itu racun yang mematikan. Maka Si Empat Mata pun tewas di tempat yang sama. Kedua jawara ini lalu dimakamkan di tepi danau Ranau.
          Kini danau itu menjadi tempat wisata yang mempesona.

Cerita Rakyat Si Lancang


Si Lancang

          Kita mengenal ada pribahasa yang berbunyi “Lupa kacang akan kulitnya.” Harta benda yang berlimpah kadang bisa membuat orang lupa akan asal muasalnya. Tak mau mengakui kalau dirinya dulu juga miskin. Kadang juga tak mau mengenal lagi dengan teman-teman atau saudara-saudaranya yang miskin. Kisah hidup Si Lancang berkisar soal itu.
          Si Lancang ini tinggal di daerah bernama Kampar. Ia di sana hanya tinggal bersama ibunya. Mereka hidup sangat miskin. Sehari-hari Lancang dan ibunya bekerja sebagai buruh tani. Lama kelamaan, Lancang berpikir tak bisa terus menerus mengandalkan hidupnya sebagai buruh. Ia ingin mengadu nasib di kota kemudian ia pamit pada ibunya dan guru mengajinya.
          Lalu ibunya berpesan, “Jika kau sukses di kota nanti, janganlah kau lupakan pada ibumu ini. Jangan sampai kau jadi anak durhaka.”
          Si lancang berjanji menjadi anak yang baik dan berbakti pada ibu.
           Lalu ia pergi setelah menyembah lutu ibunya.
          Setelah sekian lama merantau di kota, agaknya nasib baik berpihak pada Si Lancang. Ia menjadi kaya bahkan dikabarkan istrinya berjumlah tujuh orang yang semuanya cantik, bahkan semua anaknya saudagar kaya. Harta Si Lancang melimpah, tapi ia tak pernah mengingat akan ibunya di kampung halaman. Ibunya tetap miskin dan hidup menderita.
          Suatu hari Si Lancang ingin berlayar sampai Andalas. Ia membawa serta ketujuh istrinya itu. Perbekalan yang serba hebat diangkutnya pula ke dalam kapalnya yang besar dan mewah itu. Ada kain sutra yang indah-indah, emas, perak, semuanya digelar di kapal agar nampaklah kesemua orang akan kekayaannya yang berlimpah.
          Pelayaran akhirnya melintasi Kampar, kampung halaman Si Lancang. Di sana Lancang menghentikan kapalnya. Alat-alat musik dibunyikan, suaranya riuh rendah membuat seluruh penduduk Kampar ingin menyaksikan siapa yang datang. Mereka semua mengagumi kemewahan kapal Si Lancang.
          Diantara penduduk yang datang, tampaklah ibu Si Lancang. Ia terpana tak menyangka kapal mewah itu milik anaknya. Dengan mantap ia pun memasuki kapal itu. Ia sudah lama tak bertemu dan mendengar kabar anaknya.
          Di atas geladak, ia dicegat para kelasi kapal, tak diizinkan masuk. Namun ia mengatakan Lancang adalah anaknya. Para kelasi terbahak-bahak menertawakan ucapannya. Mereka tak ada yang percaya. Namun ibu lancar tetap bersikukuh agar dipertemukan dengan Lancang. Karena keributan ini, Lancang pun datang. Di belakangnya tampak ketujuh istrinya mengiringi. Dilihatnya ada seorang perempuan tua miskin dengan baju tambalan, berdiri tegak di hadapannya, siap memeluknya.
          “Lancang anakku,” pekiknya
          Namun Si Lancang merasa sangat malu. Maka diusirlah ibunya.
          Hancurlah hati ibu kandung Lancang. Ia pun pulang dengan sedih dan merana. Air matanya terus bercucuran sepanjang jalan. Ia tak mampu menyembunyikan kekecewaannya yang sangat mendalam.
          Sesampai di gubuknya yang sederhana, ia hanya mampu berdoa dan memohon ampun atas tingkah anaknya yang durhaka. Setelah itu, ia mengeluarkan benda pusaka yang sudah lama disimpannya. Benda itu berupa lesung dan tampah. Lalu ia melanjutkan doanya lagi. Kali ini sambil memutar-mutar lesung dan mengibas-ngibas tampah pusakanya itu. Dalam doanya ia berucap, “Wahai Pencipta Alam Semesta, hukumlah anak durhaka yang ada di muka bumi ini. Hukumlah anakku yang durhaka itu.”
          Tiba-tiba badai angin topan yang dahsyat datang. Kapal mewah itu dihempaskan dalam sekejap dan semua hartanya hancur berkeping-keping. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh di suatu tempat yang kini bernama Lipat Angin di daerah Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke daerah Kampar Kanan di sungai Oguong. Tembikarnya melayang di suatu tempat yang kini bernama Pasubilah. Sedangkan tiang benderanya terlempar jauh sampai ke danau. Kini danaunya bernama Si Lancang.