Si Lancang
Kita mengenal ada pribahasa yang berbunyi “Lupa kacang akan kulitnya.” Harta benda yang berlimpah kadang bisa membuat orang lupa akan asal muasalnya. Tak mau mengakui kalau dirinya dulu juga miskin. Kadang juga tak mau mengenal lagi dengan teman-teman atau saudara-saudaranya yang miskin. Kisah hidup Si Lancang berkisar soal itu.
Si Lancang ini tinggal di daerah bernama Kampar. Ia di sana hanya tinggal bersama ibunya. Mereka hidup sangat miskin. Sehari-hari Lancang dan ibunya bekerja sebagai buruh tani. Lama kelamaan, Lancang berpikir tak bisa terus menerus mengandalkan hidupnya sebagai buruh. Ia ingin mengadu nasib di kota kemudian ia pamit pada ibunya dan guru mengajinya.
Lalu ibunya berpesan, “Jika kau sukses di kota nanti, janganlah kau lupakan pada ibumu ini. Jangan sampai kau jadi anak durhaka.”
Si lancang berjanji menjadi anak yang baik dan berbakti pada ibu.
Lalu ia pergi setelah menyembah lutu ibunya.
Setelah sekian lama merantau di kota, agaknya nasib baik berpihak pada Si Lancang. Ia menjadi kaya bahkan dikabarkan istrinya berjumlah tujuh orang yang semuanya cantik, bahkan semua anaknya saudagar kaya. Harta Si Lancang melimpah, tapi ia tak pernah mengingat akan ibunya di kampung halaman. Ibunya tetap miskin dan hidup menderita.
Suatu hari Si Lancang ingin berlayar sampai Andalas. Ia membawa serta ketujuh istrinya itu. Perbekalan yang serba hebat diangkutnya pula ke dalam kapalnya yang besar dan mewah itu. Ada kain sutra yang indah-indah, emas, perak, semuanya digelar di kapal agar nampaklah kesemua orang akan kekayaannya yang berlimpah.
Pelayaran akhirnya melintasi Kampar, kampung halaman Si Lancang. Di sana Lancang menghentikan kapalnya. Alat-alat musik dibunyikan, suaranya riuh rendah membuat seluruh penduduk Kampar ingin menyaksikan siapa yang datang. Mereka semua mengagumi kemewahan kapal Si Lancang.
Diantara penduduk yang datang, tampaklah ibu Si Lancang. Ia terpana tak menyangka kapal mewah itu milik anaknya. Dengan mantap ia pun memasuki kapal itu. Ia sudah lama tak bertemu dan mendengar kabar anaknya.
Di atas geladak, ia dicegat para kelasi kapal, tak diizinkan masuk. Namun ia mengatakan Lancang adalah anaknya. Para kelasi terbahak-bahak menertawakan ucapannya. Mereka tak ada yang percaya. Namun ibu lancar tetap bersikukuh agar dipertemukan dengan Lancang. Karena keributan ini, Lancang pun datang. Di belakangnya tampak ketujuh istrinya mengiringi. Dilihatnya ada seorang perempuan tua miskin dengan baju tambalan, berdiri tegak di hadapannya, siap memeluknya.
“Lancang anakku,” pekiknya
Namun Si Lancang merasa sangat malu. Maka diusirlah ibunya.
Hancurlah hati ibu kandung Lancang. Ia pun pulang dengan sedih dan merana. Air matanya terus bercucuran sepanjang jalan. Ia tak mampu menyembunyikan kekecewaannya yang sangat mendalam.
Sesampai di gubuknya yang sederhana, ia hanya mampu berdoa dan memohon ampun atas tingkah anaknya yang durhaka. Setelah itu, ia mengeluarkan benda pusaka yang sudah lama disimpannya. Benda itu berupa lesung dan tampah. Lalu ia melanjutkan doanya lagi. Kali ini sambil memutar-mutar lesung dan mengibas-ngibas tampah pusakanya itu. Dalam doanya ia berucap, “Wahai Pencipta Alam Semesta, hukumlah anak durhaka yang ada di muka bumi ini. Hukumlah anakku yang durhaka itu.”
Tiba-tiba badai angin topan yang dahsyat datang. Kapal mewah itu dihempaskan dalam sekejap dan semua hartanya hancur berkeping-keping. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh di suatu tempat yang kini bernama Lipat Angin di daerah Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke daerah Kampar Kanan di sungai Oguong. Tembikarnya melayang di suatu tempat yang kini bernama Pasubilah. Sedangkan tiang benderanya terlempar jauh sampai ke danau. Kini danaunya bernama Si Lancang.