gambar

gambar
mobil impian gw

Sabtu, 28 Mei 2011

Tugas Bahasa Indonesia dongeng


 30 maret 2011
Mohamad Alif Ghifari Rachman/21
Kelas 7B

Pak Brongot dan Burung Perkututnya
Pengarang: Agus Kurniawan

  Burung perkutut itu bernama Suling. Suaranya merdu bagaikan alunan suara seruling. Ia sudah dipelihara Pak Brongot sejak kecil. Seumur hidup belum pernah sekali pun ia meninggalkan sangkar.
Perkutut itu sebenarnya merasa tersiksa. Sudah sejak lama ia ingin terbang bebas di angkasa. Namun Pak Brongot tidak pernah memberinya kesempatan. Pintu sangkar selalu ditutup. Ia tidak bisa menerobos keluar.
Pada suatu hari, istri Pak Brongot jatuh sakit. Sudah satu minggu lebih dia terbaring di tempat tidur. Karena tidak memiliki uang untuk mendatangkan tabib, maka Pak Brongot hanya mengobatinya dengan ramuan sederhana.
“Kalau tidak diobati tabib, peyakitku tidak akan bisa sembuh, Pak,” keluh istri Pak Brongot.
“Tapi kita tidak sanggup membayar tabib, istriku,” ujar Pak Brongot.
“Jual saja perkututmu itu. Uang hasil penjualan, pasti lebih dari cukup untuk membayar ongkos tabib.”
Pak Brongot ingin mengikuti saran istrinya. Tapi dia merasa sayang untuk menjual burung perkutut kesayangannya. Apalagi Baginda Raja akan mengadakan lomba kicau burung perkutut seminggu lagi.
“Beri aku waktu seminggu. si Suling akan aku ikutkan lomba kicau burung perkutut yang diselenggarakan Baginda Raja. Hadiahnya sangat besar. Kalau menang bisa untuk membayar tabib terbaik di negeri ini,” kata Pak Brongot penuh pengharapan. “Tapi kalau kalah... si Suling terpaksa aku jual.”
Mendengar percakapan sepasang suami istri itu, hati Suling merasa iba. Ia kasihan melihat istri Pak Brongot terbaring lemah di atas tempat tidur. Ia juga ingin membalas jasa Pak Brongot yang selama ini telah merawatnya dengan baik. Untuk membalas jasa mereka, Suling bertekad untuk memenangkan lomba!
Suling lalu berlatih keras. Sejak pagi hingga sore hari, ia terus berkicau, mengolah suaranya. Bahkan kalau tidak lelah, pada malam hari haripun ia memperdengarkan kicauannya.
Begitu inginnya Suling membalas jasa Pak Brongot, hingga ia tidak pergunakan kesempatan untuk lari dari sangkar. Suling tetap mendekam, meski pintu sangkar kandang lupa ditutup Pak Brongot, seusai memberinya makan.
“Lihat, Bu. Suling tetap berada dalam sangkar, meski pintunya terbuka lebar. Kelihatannya burung ini sudah kerasan tinggal di sangkarnya,” teriak Pak Brongot gembira.
Sejak hari itu, pintu sangkar Suling dibiarkan terbuka. Suling pun tidak berminat untuk terbang keluar, karena ingin mengikuti lomba.
Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bertempat di alun-alun depan istana, beratus-ratus ekor burung perkutut memperdengarkan suara di sangkar masing–masing. Dewan juri pun melakukan penilaian. Lalu memutuskan, bahwa pemenang lomba adalah burung perkutut bernama... Suling!
Hati Pak Brongot berbunga-bunga. Kebahagiaan semakin bertambah manakala tahu, hadiah akan diberikan sendiri oleh Baginda Raja.
“Aku akui, selama ini belum ada burung yang memiliki suara sebagus burung perkutut milikmu,” puji Raja. “Tentu kamu sangat menyayangi perkutut itu, dan tidak bermaksud untuk menjualnya.”
“Kalau  saja uang penggantinya cukup pantas, hamba rela melepas burung perkutut ini, Paduka,” kata Pak Brongot.
“Untuk burung bersuara bagus seperti perkututmu, aku bersedia menggantinya dengan uang senilai lima hektar sawah,” tawar Baginda Raja.
“Kalau kelebihan perkutut ini hanya pada suaranya, hamba bersedia melepas dengan harga yang paduka tawarkan. Tapi karena burung ini memiliki kelebihan lain, harganya senilai sepuluh hektar sawah,” Pak Brongot yang mulai serakah, menaikkan harga Suling.
“Kelebihan apalagi yang dimiliki perkututmu itu?” tanya Baginda Raja.
“Ia sangat menyukai sangkar tempat tinggalnya. Jadi meski pintu sangkar dibiarkan terbuka, burung perkutut hamba ini tidak akan terbang ke luar.”
“Benarkah ucapanmu itu?” tanya Raja.
“Kalau benar apa yang kau sampaikan, aku bersedia membayar dengan sepuluh hektar sawah.”
Untuk membuktikan ucapannya pada Raja, Pak Brongot pun membuka pintu sangkar. Ia merasa yakin, meskipun pintu sangkar terbuka lebar, si Suling tidak akan terbang ke luar.
Namun dugaannya itu meleset. Si Suling yang merasa sudah membalas jasa Pak Brongot, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sesaat setelah pintu sangkar dibuka, Suling langsung menerobos ke luar. Ia terbang meninggalkan sangkar, dan membumbung tinggi ke angkasa.
Melihat burung perkutut itu lenyap dari pandangan, Pak Brongot hanya bisa termangu. Tubuhnya tiba-tiba gemetar, pandangannya berkunang-kunang, sebelum akhirnya jatuh pingsan!

-----------------------------------------












Tokoh dan Watak :
1.   Tokoh : Pak Brongot
Watak : -Egois (lebih mementingkan diri sendiri)
                           -Tidak mau berusaha
                           -Serakah     
2.   Tokoh : Suling
Watak : -Iba hati
             -Ingin membalas budi

Tokoh Favorit : Suling  
 Alasan :
Karena Suling memiliki rasa iba Pak Brongot yang telah   merawatnya, sehingga ingin membalas budi kebaikan tuannya ketika Pak Brongot sedang dalam kesusahan. Suling ingin membahagiakan hati Pak Brongot dengan cara menang dalam lomba berkicau. Sama saja jika kita patuh dan mendapat prestasi yang baik, pasti hati kedua orang tua akan senang dan bangga.

Pesan Moral :
Kita tidak boleh mementingkan diri sendiri di atas kesusahan orang lain seperti perilaku Pak Brongot terhadap istrinya. Dan kita tidak boleh serakah, yang pada akhirnya akan mencelakakan diri sendiri. Harus selalu bersyukur atas segala yang telah diperoleh.







Pengembangan cerita

Pak Brongot dan Burung Perkututnya

  Burung perkutut itu bernama Suling. Suaranya merdu bagaikan alunan suara seruling. Ia sudah dipelihara Pak Brongot sejak kecil. Suling ditemukan di atas pohon di kebun belakang rumah Pak Brongot. Ia ditinggalkan oleh induknya di dalam sarangnya. Seumur hidup belum pernah sekalipun ia meninggalkan sangkar.
Perkutut itu sebenarnya merasa tersiksa. Sudah sejak lama ia ingin terbang bebas di angkasa seperti burung-burung lainnya. Walaupun Suling dirawat dengan baik oleh tuannya, namun seringkali ia merasa iri melihat burung-burung yang dapat terbang bebas dan hinggap di dekat sangkarnya. Namun Pak Brongot tidak pernah memberinya kesempatan. Pintu sangkar selalu di tutup. Ia tidak bisa menerobos keluar.
Pada suatu hari, istri Pak Brongot jatuh sakit. Sudah satu minggu lebih dia terbaring di tempat tidur. Karena tidak memiliki uang untuk mendatangkan tabib, maka Pak Brongot hanya mengobatinya dengan ramuan sederhana. Pohon-pohon Mangga yang ada di kebun belakang rumah belum berbuah karena musim Mangga belum tiba.
“Kalau tidak diobati tabib, peyakitku tidak akan bisa sembuh, Pak,” keluh istri Pak Brongot.
“Tapi kita tidak sanggup membayar tabib, istriku,” ujar Pak Brongot.
“Pohon-pohon Mangga belum ada yang berbuah. Tak ada buah yang dapat kujual ke pasar.”
“Jual saja perkututmu itu. Uang hasil penjualan, pasti lebih dari cukup untuk membayar ongkos tabib.”
“Jika burung perkututmu dijual, pastilah mahal  karena ia memiliki suara yang merdu.”
Pak Brongot ingin mengikuti saran istrinya. Tapi dia merasa sayang untuk menjual burung perkutut kesayangannya karena ia telah merawatnya dengan sabar sejak masih kecil. Apalagi Baginda Raja akan mengadakan lomba kicau burung perkutut seminggu lagi.
Pak Brongot mencoba memberikan pengertian kepada istrinya agar ia mau bersabar sampai minggu depan.
“Beri aku waktu seminggu. Si Suling akan aku ikutkan lomba kicau burung perkutut yang diselenggarakan Baginda Raja. Hadiahnya sangat besar berupa sawah seluas satu hektar. Kalau menang bisa untuk membayar tabib terbaik di negeri ini,” kata Pak Brongot penuh pengharapan. “Tapi kalau kalah... si Suling terpaksa aku jual.”
Mendengar percakapan sepasang suami istri itu, hati Suling merasa iba dan sedih. Ia kasihan melihat istri Pak Brongot terbaring lemah di atas tempat tidur. Ia juga ingin membalas jasa Pak Brongot yang selama ini telah merawatnya dengan baik dan penuh kasih sayang. Untuk membalas jasa mereka, Suling bertekad untuk memenangkan lomba!
Suling lalu berlatih keras. Sejak pagi hingga sore hari, ia terus berkicau, mengolah suaranya. Bahkan kalau tidak lelah, pada malam hari haripun ia memperdengarkan kicauannya. Dari hari ke hari suara Suling semakin merdu. Pak Brongot pun bangga terhadap kemerduan suara Suling. Pak Brongot yakin perkututnya pasti akan menang dalam perlombaan nanti.
Begitu inginnya membalas jasa Pak Brongot, hingga ia tidak pergunakan kesempatan untuk lari dari sangkar seperti yang selama ini ia impikan. Suling tetap mendekam, meski pintu sangkar kandang lupa di tutup Pak Brongot, seusai memberinya makan.
“Lihat, Bu. Suling tetap berada di dalam sangkar, meski pintunya terbuka lebar. Kelihatannya burung ini sudah kerasan tinggal di sangkarnya,” teriak Pak Brongot gembira.
Sejak hari itu, pintu sangkar Suling dibiarkan terbuka. Suling pun tidak berminat untuk terbang keluar, karena ingin mengikuti lomba dan memenangkannya, sebagai balas jasa kepada Pak Brongot.
Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bertempat di alun-alun depan istana, beratus-ratus ekor burung perkutut memperdengarkan suara di sangkar masing–masing. Dewan juri pun melakukan penilaian. Lalu memutuskan, bahwa pemenang lomba adalah burung perkutut bernama... Suling!
Hati Pak Brongot berbunga-bunga. Ia sangat bahagia dan bangga pada Suling. Harapan untuk dapat membayar tabib yang akan mengobati istrinya, akan terwujud. Kebahagiaan semakin bertambah manakala tahu, hadiah akan di berikan sendiri oleh Baginda Raja.
“Aku akui, selama ini belum ada burung yang memiliki suara sebagus burung perkutut milikmu,” puji Raja. “Tentu kamu sangat menyayangi perkutut itu, dan tidak bermaksud untuk menjualnya.”
Mendengar Baginda Raja jatuh hati pada si Suling, Pak Brongot berminat untuk menjual perkututnya dengan harga yang mahal.
“Kalau  saja uang penggatinya cukup pantas, hamba rela melepas burung perkutut ini, Paduka,” kata Pak Brongot.
“Untuk burung bersuara bagus seperti perkututmu, aku bersedia menggantinya dengan uang senilai lima hektar sawah,” tawar Baginda Raja.
Pak Brongot terkejut mendengar penawaran Baginda Raja. Namun karena sifat serakahnya, ia pun menginginkan harga yang lebih tinggi lagi.
“Kalau kelebihan perkutut ini hanya pada suaranya, hamba bersedia melepas dengan harga yang Paduka tawarkan. Tapi karena burung ini memiliki kelebihan lain, harganya senilai sepuluh hektar sawah.” Pak Brongot yang mulai serakah, menaikkan harga Suling.
“Kelebihan apalagi yang dimiliki perkututmu itu?” tanya Baginda Raja.
“Ia sangat menyukai sangkar tempat tinggalnya. Jadi meski pintu sangkar dibiarkan terbuka, burung perkutut hamba ini tidak akan terbang ke luar.”
“Benarkah ucapanmu itu?” tanya Raja.
“Kalau benar apa yang kau sampaikan, aku bersedia membayar dengan harga sepuluh hektar sawah.”
Untuk membuktikan ucapannya pada Raja, Pak Brongot pun membuka pintu sangkar. Ia merasa yakin, meskipun pintu sangkar terbuka lebar, si Suling tidak akan terbang ke luar. Keyakinannya itu berdasarkan apa yang selama ini ia lihat, si Suling tidak pernah kabur dari sangkarnya walaupun ia seringkali lupa menutupnya.
Namun dugaannya itu meleset. Si Suling yang merasa sudah membalas jasa Pak Brongot, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sesaat setelah pintu sangkar dibuka, Suling langsung menerobos ke luar. Ia terbang meninggalkan sangkar, dan membumbung tinggi ke angkasa.
Melihat burung perkutut itu lenyap dari pandangan, Pak Brongot hanya bisa termangu. Tubuhnya tiba-tiba gemetar dan lemas, pandangannya berkunang-kunang, sebelum akhirnya jatuh pingsan!
Setelah sadar dari pingsannya, Pak Brongot hanya bisa menyesal atas keserakahannya. Si Suling, burung perkutut kesayangannya kini telah terbang bebas meninggalkan dirinya.

                        --------------------------------------------




Tidak ada komentar:

Posting Komentar